Di antara semua hal di dunia ini, hal yang paling sulit aku lakukan adalah membuka diri. Selama ini, aku selalu berusaha untuk tampil sempurna dan bisa diandalkan. Jika itu aku, maka semua baik-baik saja. Jika itu aku, maka bisa aku selesaikan semua. Bahkan jika aku tidak bisa, aku akan mengusahakannya sampai bisa. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana struggle-ku, tidak ada yang tahu apakah yang sebenarnya aku rasakan. Bagi semua orang, aku adalah si serba mampu dan selalu bisa diandalkan. Orang lain hanya menerima beresnya saja, serahkan kepadaku dan semua akan berjalan sebagaimana mestinya.
Pada dasarnya aku adalah orang yang ceria, karena menurutku untuk apa bersedih di saat ada banyak sekali hal yang bisa aku banggakan. Tapi di satu sisi, aku memang cenderung menutup diri hingga di titik orang-orang terdekatku bahkan tidak mengenalku dengan baik. Yang mereka tahu aku adalah orang yang hebat dan selalu keren. Ya, aku memang tidak pernah menceritakan semua kesulitanku. Menurutku, setiap orang itu memiliki beban dan ujiannya masing-masing. Mereka semua pasti sudah sulit dengan ujiannya sendiri. Aku tidak ingin membebani mereka dengan masalahku itu, aku tidak ingin menjadi manusia yang merepotkan.
Semuanya berjalan lancar. Aku dengan rencanaku, dan aku dengan kemampuanku, semuanya lancar. Meski lancar, namun ada sesuatu yang terus mengganjalku. Mengapa aku, merasa seperti makin jauh? semakin hari rasanya semakin tidak beres. Teman dekatku sampai mengatakan, "Kenapa kamu tidak pernah menceritakan apa pun padaku?," dan aku hanya menjawab singkat, "Karena memang tidak ada yang bisa diceritakan, semua aman-aman saja." Setelah mengirim pesan tersebut, aku kembali berpikir, apa memang semuanya baik-baik saja?
Tidak, sebenarnya aku sedang membohongi diriku sendiri. Tidak ada yang baik-baik saja, bahkan menurutku sudah dapat dikatakan hancur. Mengapa sampai akhir aku tetap memilih untuk menarik dan menutup diriku? Aku sangat bingung dan semakin tersesat hingga akhirnya ada seseorang, yakni "mba" ku yang memaksa masuk dan menerobos pintu tersebut:
"Jangan selalu merasa mampu tapi tidak mampu merasa"
Akhirnya aku kena juga. Selama ini aku memang terlalu mengandalkan diriku. mengandalkan akalku, mengandalkan kemampuanku, mengandalkan semua rencanaku. Tidak sampai situ saja. Selain senantiasa mengandalkan diriku, aku juga selalu berusaha untuk menahan dan memendam segala emosi yang ada. Aku bukanlah manusia yang sejak awal memiliki tingkat kepedulian yang tinggi, tidak. Dahulu, aku adalah orang yang sangat acuh, hingga di titik aku memiliki banyak sekali penyesalan. Ketidakpedulianku terhadap banyak hal, termasuk terhadap orang-orang terdekat ternyata pelan-pelan mengikisku hingga hanya tersisakan hampa tak berkesudahan di dalam hati. Meski begitu, aku juga tidak ingin sepenuhnya menyalahkan diriku, janganlah juga kita keras terhadap diri sendiri. Siapa lagi di dunia ini yang akan mendukung kita kalau bukan diri sendiri?
Pelan-pelan aku memperbaiki semuanya satu-persatu dan mulai membuka diri. Aku mulai menceritakan dan membagikan "sulit" ku kepada orang lain. Jika kalian berpikir bahwa membuka diri adalah proses yang menyenangkan jawabannya adalah tidak. Justru, membuka diri adalah proses yang sangat menyakitkan. Sebagai seorang yang selama ini selalu menomor-sekiankan perasaan, membuka diri itu rasanya sangat berat. Ibarat keran yang baru pertama kali dibuka, semua perasaan itu tumpah di saat yang bersamaan. Rasa sedih, marah, dan kecewa yang selama ini terpendam akhirnya mengucur bagai banjir di siang bolong. Tanpa aba-aba, mengalir deras tak terbendung. Aku kewalahan, aku sangat bingung bagaimana memproses ini semua. Rasanya asing sekali. Aku tidak pernah menyangka bahwa selama ini aku menanggung semua perasaan itu sendirian. Mungkin itu juga yang membuat hatiku sangat berat dan keras. Ketika aku membuka diri, rasanya seperti membocorkan vulnerability aku sendiri di hadapan khalayak. Aku sangat takut ketika orang mengetahui kesulitanku, aku sangat takut membocorkan kekuranganku. Tapi, (hal yang patut aku syukuri) orang-orang terdekatku berusaha meyakinkan dan membujukku, berusaha meyakinkan bahwa semua ini akan baik-baik saja hingga akhirnya aku menumpahkan semua isi emberku hingga kosong tidak tersisa. Aku sudah tidak bisa menghitung berapa banyak malam yang aku habiskan hanya untuk menangis. Lagi-lagi kecewa, lagi-lagi menangis. Aku sangat bingung hingga terkadang aku tidak tahu alasan sebenarnya mengapa air mataku mengalir. Hari demi hari mba ku membantu untuk mengurai semua yang aku alami dan rasakan, dan sensasinya memang sangatlah pedih. Rasanya seperti membuka kembali kumpulan luka yang sudah menjadi borok untuk disembuhkan. Semua perasaan tersebut satu-persatu aku terima. Semua yang aku rasakan, semua yang aku alami, semua yang terjadi di hidup ini pelan-pelan aku terima. Dikatakan kepadaku bahwa hal tersebut sejatinya normal. Setiap manusia pasti akan berada di fase tersebut tidak peduli berapa pun umur mereka. Ada yang sudah mengalaminya saat usia belasan, ada yang mengalaminya sama sepertiku di usia dua puluhan awal, ada yang mengalaminya saat usia tiga puluhan, bahkan ada yang baru mengalaminya saat sudah menginjak kepala 4 bahkan 5. Hal tersebut pasti terjadi, dan kita sebagai manusia harus mau menerima proses dan menjalaninya dengan sabar, satu-persatu.
Tahukah kalian bahwa iman yang paling sulit itu sesungguhnya adalah iman terhadap Qada dan Qadar? iman kepada takdir. Menurut Imam Syafi'i, iman sendiri diartikan sebagai meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkannya dengan rukun. Artinya, untuk dapat dikatakan beriman tidak cukup hanya dengan hati dan lisan, namun juga perlu diamalkan. Sejak dulu aku telah mengetahuinya, tapi apakah aku telah mengamalkannya? sepertinya belum.
Doa yang selalu aku panjatkan adalah doa mengenai keteguhan dan kelembutan hati. Aku mengetahui bahwa ada yang salah pada diriku, hingga sampai di titik aku memasrahkan, dan merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah. Aku sadar bahwa aku sama sekali tidak memiliki daya dan kekuatan. Sesungguhnya semua yang aku capai dan aku miliki itu adalah kehendak Allah. Tak satu pun luput dari Penglihatan dan Kuasa-Nya. Maha Benar Allah atas Segala Firman-Nya, dan Maha Besar Allah atas Segala Ciptaan-Nya. Sejatinya kesempurnaan itu hanyalah milik Allah, dan celakalah bagi orang-orang yang mendambakan kesempurnaan.
Aku meminta keteguhan hati semata-mata karena kesadaran diriku atas ketidakmampuanku dalam mengendalikan diri. Sadar bahwa aku hanyalah seorang hamba yang mudah terombang-ambing dan mudah tersesat. Doa kelembutan hati pun juga semata-mata karena kesadaran atas kerasnya hatiku selama ini dalam menerima takdir. Bahwa di hidup ini, aku tidak selalu mampu mengatasi semua permasalahan hidup. Bahwa di hidup ini, ada banyak batasan yang tidak bisa aku lakukan. Bahwa di hidup ini, akan ada banyak hal yang mengecewakan, dan bahwa di hidup ini, tidak semua hal berjalan dengan rencanaku. Pelan-pelan aku mulai menerima semua yang ada pada diriku sepaket kelebihan dan kekurangannya. Pelan-pelan aku mulai menerima semua takdirku, bahwa Allah memang sedang menegur, menempa, dan memperbaiki diriku. Lucunya, aku melihat hal ini sebagai jawaban dari doa-doaku, karena sebenarnya aku sendiri lah yang meminta agar Allah senantiasa membimbingku menuju jalan yang dirahmati oleh Allah. Dan ternyata, jalan tersebut bukanlah sebuah jalan yang mulus tanpa hambatan. Taat itu sulit, karena Allah sedang melihat kesungguhan seseorang dalam berproses, seperti yang terdapat dalam surah Al-Ankabut ayat 2:
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ ٢
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?
Menurut Ibnu Qayyim, yang dikutip oleh ustadz Muhammad Nuzul Dzikri dalam salah satu kajiannya yang berjudul, "Cara Luqman Mengajarkan Kesabaran." Disebutkan bahwa pada dasarnya hidup itu terdiri dari 3 hal:
- Sabar dalam melaksanakan perintah (ketaatan)
- Sabar dalam menjauhi larangan-Nya
- dan Sabar dalam menghadapi ujian

.jpeg)