![]() |
Menunggu KA Commuter Line Bandung Raya |
Siang itu menunjukkan pukul dua, "Sepertinya telat." Aku tidak tahu, bahwa pembelian tiket Kereta api Commuter Line Bandung Raya memiliki cara yang berbeda dengan Kereta api Commuter Line Jabodetabek. "Maaf untuk pemberangkatan pukul 14.06 pembelian tiketnya sudah ditutup," aku hanya bisa menghela nafas. Oh, ini adalah sesuatu yang baru, tentu saja! siapa kira manusia rumahan ini -yang menganggap akan menghabiskan seumur hidupnya di Jabodetabek- bisa bepergian seperti ini, sendiri. Sebenarnya tidak sendiri, setidaknya ada 6 orang ikut dalam perjalanan minggu ini. Namun, 5 di antaranya pulang setelah berpetualang sehari semalam di sini. Aku? sepertinya masih terlalu gabut untuk pulang ke rumah. Huft, dasar pengangguran.
Sesuai perkiraan, Kereta dengan rute Cicalengka-Padalarang yang akan kunaiki sudah berangkat, tepat di depan mata. Satu jam lagi, gumamku. Cukup mengejutkan bahwa perbedaan jadwal kereta selanjutnya adalah satu jam, tidak seperti Commuter Line Jakarta yang datang setidaknya 10 menit sekali. Tik, tok, tik, tok... bahkan 5 menit belum berlalu namun rasanya bosan sekali. Aku memutuskan duduk di kursi depan peron, memandangi setiap manusia yang berlalu-lalang dengan ceritanya masing-masing. Saat itu hidup berjalan sangat lambat. Ya, sangat lambat. Di Jakarta, semuanya serba cepat. Transportasi, pekerjaan, hingga kehidupan sehari-hari pun cepat. Kalau tidak berlari, sudah pasti akan tertinggal dan tergerus.
![]() |
Karyawan kereta api yang sedang bertugas |
Akhirnya pukul tiga sore tiba, kereta yang ditunggu datang. Para penumpang spontan berdiri dan mendekati peron. Kereta yang datang adalah kereta tipe ekonomi, dengan kursi tegak dan duduk berhadap-hadapan, kaki bertemu kaki. Kereta ini tidak memiliki nomor duduk, jadi ketika kereta sudah berhenti dengan sempurna semua orang berbondong-bondong masuk untuk memperebutkan kursi yang terbatas tersebut. Aku mendapatkan kursi yang membelakangi arah laju kereta, untuk pertama kalinya mendapat pemandangan yang bergerak mundur.
![]() |
Suasana KA rute Padalarang-Cicalengka |
Suasana kereta di sini terasa lebih 'ramai'. Di Jakarta, meskipun kereta penuh dengan lautan manusia namun semuanya diam, sibuk dengan gawainya masing-masing. "Bu, lihat ada gunung!," ucap sang anak sambil melihat pemandangan. Sangat disayangkan aku tidak memiliki kemampuan berbahasa sunda, jadi sekeras apapun aku berusaha mendengarkan percakapan mereka: aku tetap tidak mengerti. Hari itu adalah tanggal 7 Mei, dan raut wajah penumpang saat itu relatif hangat dan ceria. Mungkin karena masih terbawa suasana hari raya Idul Fitri, atau mungkin juga karena hari itu adalah hari Minggu, hari libur yang dinantikan banyak orang untuk jalan-jalan.
Butuh waktu kurang lebih 40 menit untuk sampai ke Rancaekek, dengan rute melewati Stasiun Cikudapateuh-Kiaracondong-Gedebage-Cimekar-Rancaekek. Dua stasiun pertama adalah stasiun yang masih dikatakan dekat dengan pusat kota, sehingga pemandangan yang terlihat adalah rumah dan perkotaan. Menuju daerah Gedebage, pemandangan bukit mulai terlihat. Sejujurnya aku juga tidak tahu apakah itu memang perbukitan atau ternyata pegunungan. Namun, jika melihat dari ketinggian dan tingkat kelandaiannya aku akan menganggap sebutan bukit lebih cocok disematkan.
![]() |
Pemandangan sepanjang perjalanan |
Selama ini aku menyangka bahwa Masjid Raya Al-Jabbar terletak di daerah Gedebage, memang benar. Tetapi, jika ingin pergi kesana menggunakan kereta alangkah lebih baik untuk turun di Stasiun Cimekar, bukan Stasiun Gedebage (karena memang lebih dekat, bahkan dekat sekali, bisa ditempuh dengan jalan kaki). Saat masjid ini mulai tampak dari jendela kereta, penumpang di kereta terdengar riuh gembira. Anak kecil yang sedari tadi relatif diam mulai bersahut-sahutan. "Ma, Al-Jabbar!," "Itu masjidnya!." Aku yang kali pertama melihat masjid Al-Jabbar juga tidak ketinggalan terkesima. Bayangkan, di tengah hamparan sawah yang luas, rumput dan tanaman sejauh mata memandang, tiba-tiba terdapat masjid yang sungguh megah kokoh berdiri. Tentu saja tidak mungkin tiba-tiba ada dan pasti telah melalui pembangunan yang panjang, namun bisa dikatakan masjid ini merupakan angin segar. Melihat banyaknya mobil dan bis berjejer, terparkir rapi di sekitar masjid, menandakan besarnya antusiasme warga untuk berkunjung ke masjid ini. Meskipun menghadap membelakangi kereta, tempat dudukku persis bersebelahan dengan pemandangan Masjid Raya Al-Jabbar. Sudah sedekat ini namun ternyata belum bisa berkujung, gumamku dalam hati. Tidak apa, akan kupastikan di lain kesempatan untuk mampir. Saat itu aku bertekad, cepat atau lambat, aku akan kembali ke sini. Nanti lagi ya, ucapku selama melihat pemandangan masjid via jendela kereta api.
![]() |
Masjid Rayya Al-Jabbar |
Melewati Stasiun Cimekar kita juga akan melihat pemandangan Stadion GBLA dari jauh, stadion kebanggaan warga Bandung Raya. Stadionnya besar dan megah, namun karena hari itu sedang tidak ada pertandingan jadi aku tidak melihat adanya keramaian signifikan dari pengunjung yang ingin kesana dengan kereta. Melaju lebih jauh lagi, ternyata tidak jauh dari Stasiun Rancaekek terdapat depo kereta cepat. Dari kaca jendela aku bisa melihat dengan jelas sebuah kereta cepat sedang terparkir cantik, menunggu peluncurannya pada bulan Agustus nanti. Jika sudah beroperasi, perjalanan Jakarta-Bandung bisa ditempuh hanya dengan 35 menit saja, persis waktu tempuh yang dibutuhkan untukku menuju Rancaekek hari itu. Teknologi menakjubkan bukan? bahkan untuk menuju stasiun Sudirman dari Bekasi saja membutuhkan waktu 40 menit, sudah termasuk antri jalur kereta di Stasiun Matraman dan Manggarai. Terbesit keinginan untuk mencoba moda transportasi baru tersebut untuk berkunjung lagi ke Bandung, namun karena harganya relatif mahal jadi kita menabung saja dulu (lol).
![]() |
Selamat datang di Rancaekek! |
Perjalanan kali ini terasa sangat membahagiakan dan mengharukan. Ini adalah pengalaman pertamaku menaiki kereta di luar Jabodetabek. Dari sekian banyak rute kereta, tidak kusangka ternyata KA Padalarang-Cicalengka menjadi yang pertama. Stasiun demi stasiun dilewati, dan ada perasaan hangat yang menyelimuti. Sekarang aku mengerti, mengapa banyak orang yang memilih perjalanan dengan kereta meskipun memakan waktu lebih lama, karena rasanya memang menyenangkan. Melihat pemandangan, orang-orang bercengkrama, hingga sekadar duduk menikmati waktu sendiri. Sebenarnya setiap hari aku terbiasa mobilisasi dengan kereta Jabodetabek. Namun karena berpacu dengan waktu, aku jadi kurang menikmatinya. Perjalanan ini mengingatkanku bahwa selama ini aku terlalu berpaku pada tujuan, hingga melupakan nikmatnya proses. Memberikanku kesempatan untuk melambat sejenak, untuk sekadar mengamati dan merasakan kehidupan yang sederhana.
Akan kupastikan kembali, di lain hari dan kesempatan. Sampai nanti di perjalanan berikutnya.