Al-Fajr dan Puncak Kehidupan

0

   

    Menjalani hari terasa berat saat aku menemukan ayat ini secara tidak sengaja. Apakah kalian tahu? Ketika kita sudah memiliki kesadaran tentang diri kita, tentang kehidupan kita, hal tersebut ternyata tidak menjamin kita akan memiliki hidup yang mulus. Di dunia ini, semua manusia akan senantiasa diuji. Bahkan, sekeras apa pun kita menghindarinya, semua ujian tersebut pasti akan datang. Dari awal kelahiran kita sampai hari terakhir kehidupan kita di sini kita akan diuji, lagi dan lagi. 


Al-Fajr bukanlah surah yang memiliki banyak hype, surah singkat yang biasa dihafal bersama surah lainnya di juz 30 TAPI, semua berubah ketika kita sudah sampai di bagian akhir surat tersebut:


"Wahai Jiwa yang Tenang."


Tenang, sebuah kata yang sangat familiar namun terasa semakin asing. Kapan terakhir kali kita merasa tenang? Kapan terakhir kali kita bersahabat dengan tenang? Semakin hari, justru rasa gelisah yang semakin menguasai hati. 


Apa yang sebenarnya dikhawatirkan manusia? Apa yang sebenarnya ditakutkan kita? 


Jawabannya: Sudah pasti banyak. Seiring perkembangan manusia, seseorang mulai tumbuh dengan pengalamannya, melalui lingkungan, serta orang-orang yang dikenalnya. Hal itu juga membuat harapan dan ekspetasi mulai tumbuh. Setiap orang mulai membawa masalahnya masing-masing, mulai berjalan dengan versi hidupnya sendiri-sendiri, dan di sana pula: ketenangan perlahan hilang. 


Sekarang bayangkan, setelah semua kerja keras yang dilakukan, semua kesedihan yang dialami, Tuhan menyambut kita dengan sambutan terbaik,


"Wahai Jiwa yang Tenang."

"Kembalilah."


Perasaan yang terpendam, kata yang dulu tidak sanggup terucap, doa-doa yang senantiasa dipanjatkan, ternyata Tuhan mengetahui itu semua, Tuhan memahaminya.


Pada akhirnya, satu-satunya tempat bersandar adalah Tuhan. Tempat terbaik untuk mengadu, mengharap, dan meminta. Sungguh, sebaik apa pun dunia memperlakukan kita, hidup pasti akan membawa kecewa pada titik tertentu. Ketika manusia saja didoakan agar tenang ketika meninggal, lantas ketenangan saat hidup jelaslah fana.


Tentu, ini bukan berarti bahwa kehidupan hanya membawa kesulitan dan kesedihan, tidak. Dunia ini juga berisi banyak hal yang membahagiakan dan patut disyukuri. Namun, sesuatu yang sifatnya sejati di sini pastilah tidak ada. Harta yang kita banggakan, achievement yang kita raih, itu semua tidak sejati. Ketika kita nantinya mati, semua hal tersebut akan tertinggal. Manusia mungkin akan mengingat kita sebagai x dan y, namun untuk orang sudah meninggal, yang mereka bawa hanyalah diri mereka, jiwa itu sendiri beserta amalnya.


Puncak kehidupan yang sebenarnya itu bukanlah ketika kita berhasil meraih mimpi, bukan saat memiliki uang, dan juga bukan saat kita memiliki kuasa. Puncak kehidupan itu adalah saat kita sudah menyelesaikan kehidupan kita sebagai manusia, lalu saat Tuhan bertanya, "Untuk apa hidupmu selama ini?," kita bisa bangga menjawab, 


"Wahai Allah, sungguh saya telah menggunakan kesempatan hidup saya & mengusahakannya dengan sebaik mungkin."


Demi kehidupan kekal yang tenang nanti, kita harus mampu menahan dan menghadapi segala ujian di dunia. 


"Wahai Jiwa yang Tenang!"

"Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya."

"Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,"

"Dan masuklah ke dalam surga-Ku."


Bersabarlah, ini semua hanya sementara. 

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)