Popped Out

0



    Menjadi ignorant itu ternyata sangat mudah, apalagi ketika hidup lu masih 'baik-baik saja.' Baik-baik saja bukan berarti tidak memiliki masalah. Maksudnya adalah, lu masih bisa menikmati hari. Lu masih memiliki kesempatan untuk hidup aman dan nyaman. Lu bisa mematikan TV, keluar dari riuhnya sosial media, dan menjalani hidup seperti biasa. Sepertinya hari ini aman kok? Buktinya gua masih bisa menikmati matcha gua. Kalau bosan, gua masih bisa jalan-jalan, gua masih bisa tidur di kamar dengan kasur yang empuk. Negara ini tidak mungkin langsung hancur kok, buktinya di sini gua aman-aman saja. Setidaknya menurut penglihatan gua semuanya masih tampak sama seperti kemarin. Ternyata, menjadi tidak peduli itu sangat mudah, sangat nyaman. Tidak peduli berarti kita memutuskan untuk tidak tahu. Dan tidak tahu itu rasanya menyenangkan, tidak ada beban. Tidak peduli adalah bentuk acuh terhadap hal-hal yang menurut kita tidak penting. Memang, kalau hidup kita susah siapa juga yang peduli selain kita? tapi apakah itu pantas dijadikan justifikasi untuk tidak peduli terhadap sekitar?


    Selama ini gua cukup tertekan dengan pemberitaan negara yang sepertinya tidak jua membaik. Malah, terlihat keadaan yang semakin rusak di berbagai lapisan. Seperti sudah tidak tertolong, siap hancur kapan saja jika pemantik dinyalakan. Rasanya overwhelmed, hati menjadi berat dan tidak karuan. Tapi meski begitu, gua cukup heran kenapa justru para pelaku ini seperti tidak tersentuh dan tidak tergerak. Gua pun mencoba mengikuti ritme 'mereka' dan ternyata, sangat nyaman. Ketika gua tidak peduli, gua tidak perlu memikirkan hal-hal rumit. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, apa penyebabnya, bagaimana kedepannya, itu semua rumit dan merepotkan. Tapi dengan menjadi ignorant? gua tidak perlu berpikir sejauh itu. Yang ada dipikiran gua adalah varian matcha apa yang ingin dibuat, sambil menonton series kesukaan di kamar yang nyaman. Tidak perlu panas-panasan, tidak perlu merasakan perihnya gas air mata, tidak perlu pusing memikirkan orang lain.


    Tapi apa semua ini sepadan? mengorbankan empati gua untuk kenyamanan tersebut? ternyata tidak. Hati gua rasanya berat. Gelisah. Sangat tidak masuk di akal gua mengapa mereka bisa menggadaikan hati nurani mereka demi kenikmatakan yang sifatnya rapuh dan fana tersebut. Apalah arti semua itu jika prosesnya sampai perlu menginjak-injak dan merebut hak orang lain. Tapi memang, perlu diakui bahwa dari awal saja norma yang dianut sudah berbeda. Sebanyak apa gua berusaha memahami, tapi tetap saja buat gua tidak masuk akal. Gua menyadari bahwa harta dan kekuasaan itu bisa melenakan bahkan mematikan hati seseorang, dan hal tersebut sangat menyeramkan. 


    Gua memutuskan untuk tetap peduli, tetap bersuara, tetap berusaha sebisa mungkin. Bukan karena hal tersebut menguntungkan, tapi justru karena memang sudah seharusnya gua bersikap seperti itu. Manusia yang bisa dan mau berpikir tentu merasa bahwa ini adalah kondisi yang sangat memprihatinkan. Bagaimana kegagalan pemerintah melahirkan banyak penderitaan. Banyak korban berjatuhan, banyak hidup yang hancur, banyak masa depan anak-anak yang rusak, banyak keluarga yang tidak selamat. Mereka semua manusia, mereka semua punya kehidupan, mereka bukanlah angka statistik belaka. Mereka mungkin bukan kerabat langsung, tapi kita juga tidak perlu menunggu mengalami hal yang sama untuk bisa peduli, untuk mau ikut bertindak. Ya, gua memutuskan untuk tetap mengikuti perkembangan berita, berusaha mempelajari duduk permasalahan, dan membagikannya kepada orang-orang terdekat karena gua juga manusia yang sama seperti mereka semua, gua masih punya akal sehat.


    Jangan merasa mampu, tapi mampulah merasa. Dewasa ini gua menyadari bahwa merasa adalah sebuah privilege yang tidak semua orang punya. Bagaimana kita bisa merasa dan peka terhadap orang dan lingkungan sekitar, bagaimana kita bisa merasa terhadap berbagai keadaan. Mampu merasa adalah bukti bahwa sebagai manusia kita masih memiliki empati dan hati nurani. Kita bisa saja cuek, tapi hal tersebut akan mematikan perasaan-perasaan fundamental yang membuat kita menjadi manusia. Hati yang mati adalah bencana, karena kita kehilangan kompas dalam merasa. Semua standar pun dilanggar karena kita tidak lagi memiliki patokan, "apakah ini etis, apakah ini pantas, apakah ini baik untuk dilakukan?." Pejabat-pejabat tersebut perlahan mati, menyisakan raga yang masih berjalan namun kopong nan buta arah.


    Membayangkan betapa beratnya hisab pelaku-pelaku tersebut rasanya mengerikan dan merinding. Dengan tanggung jawab seperti itu, bagaimana bisa mereka memilih tidak peduli? mereka itu sudah berjanji bahkan mengucapkan sumpah. Bagaimana bisa mereka tidur tenang di saat banyak orang yang menyumpahi mereka? Tapi mungkin benar seperti ucapan gua sebelumnya, bahwa hati mereka sesungguhnya telah mati, merasa pun tidak mampu. 


    Semoga dan semoga, Allah tetap meneguhkan kita dalam kebaikan dan ketaatan. Semoga Allah selalu menjaga dan menuntun hati kita untuk tetap peduli, untuk tetap membantu sesama, untuk tetap menebar kebaikan. Semoga kita semua bisa mendidik orang-orang di sekitar kita untuk tetap berada di jalan yang benar, yakni jalan yang dipenuhi berkah dan rahmat Allah. Dan semoga, Allah membalas semua perlakuan dzalim para pelaku baik di dunia mau pun di akhirat. 

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)