Terbentur, Terbentur, lalu Terbentuk

0
    



    Hari ini Bogor hujan sangat deras. Deras saja tidak cukup, intensitas hari ini bahkan menyebabkan banjir lebih dari semata kaki. Ini Bogor, bukan Bekasi, bukan Tangerang Selatan, apalagi Jakarta. Menurut prakiraan cuaca, September ini sebetulnya Indonesia belum memasuki musim hujan, kemarau basah katanya. Dulu, orang berkata bahwa bulan yang berakhiran 'ber' itu musim hujan. Tapi sepertinya karena perubahan iklim cuaca menjadi tidak menentu. Sajak Hujan di Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono sudah mulai tidak relevan karena Juni lalu Indonesia banyak mengalami hujan deras. 

    Meski memakai jas hujan, tapi aku tetap basah kuyup. Selain jas hujan yang hanya menutupi bagian atas, ternyata jas hujan yang dipinjamkan kepadaku bolong! Kau tahu, selama menaiki ojek, rasanya wajah dan badanku seperti ditampar angin dan air secara bersamaan. Ditambah lagi kehadiran motor lain yang melaju membuat sepatuku basah total. Sesampainya di stasiun, aku langsung melipat jas hujanku sambil menggigil. Terdengar suara pedagang sekitar yang meneriakkan, "Sepuluh ribu! Sepuluh ribu!," menawarkan jas hujan sekali pakai kepada orang-orang yang sedang menunggu di pelataran stasiun. Apakah aku marah? tidak juga. Kenapa aku harus marah? Kenapa aku harus bete? Aku suka hujan. Lebih tepatnya selama tidak ada petir, aku suka hujan. 

    Terkadang, manusia itu suka terlalu cepat marah pada hal-hal kecil. Kecap jatuh, marah. Barista yang salah menuliskan nama, marah. Minuman tumpah sedikit, marah. Kita suka salah menempatkan emosi kita pada hal-hal yang keliru. Urusan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah diperpanjang, dan justru hal yang seharusnya diprioritaskan malah tidak dipermasalahkan. Ketika ditindas diam, memilih perwakilan rakyat yang menyangkut hajat hidup banyak orang dengan asal, saat diperalat orang lain hanya bisa pasrah, tidak berusaha memperbaiki keadaan hingga cenderung acuh saat salah mengambil keputusan hidup. Ibaratkan naik kereta, kita tahu bahwa kita salah menaiki kereta, namun bukannya turun kita malah duduk saja, pasrah. Memang, kita tidak tahu tujuan apa yang menanti kita, tapi apa jaminannya? Berapa besar rasio antara berhasil dan gagalnya? Apalagi jika ternyata tujuan tersebut adalah jalan buntu, maka berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke stasiun awal? Berapa banyak energi yang dihabiskan untuk mengembalikan semuanya? terlalu beresiko. Ada kalanya kita harus sadar, mundur, dan putar balik. Bukan karena pengecut, tapi karena kita sudah tau bahaya apa yang mengintai, kita tahu bahwa pengorbanan tersebut nantinya tidak sepadan. 

    Salah itu tidak apa-apa, dan mengakui kesalahan itu jauh lebih tidak apa-apa. Terkadang di suatu masalah, memang kita penyebabnya. Tidak semua hal yang terjadi di hidup kita itu selalu karena lingkungan, atau karena orang lain. Bagaimana jika memang kita penyebabnya? Jawabannya adalah: tidak mengapa. Belakangan ini aku sadar bahwa mengakui kesalahan dan kekurangan adalah hal yang sangat penting. Bahkan menurutku, langkah awal untuk merubah diri sendiri itu adalah dengan acceptance, menerima diri kita seutuhnya. Ya, aku memang salah. Aku sudah membuat kekacauan, aku sudah membuat keputusan yang salah. Orang yang bijak adalah orang yang mau mendengarkan, mau menerima, dan senantiasa memperbaiki diri. Jika membandingkan diriku setahun yang lalu dengan diriku yang sekarang jelas berbeda. Tapi apakah semua itu terjadi tiba-tiba? Jelas tidak. Aku berusaha memahami situasi, aku belajar menghadapi masalahku sendiri. 

    Banyak orang di hidupnya yang bahkan tidak berubah sampai mereka tua. Ketika diberi tahu, mereka akan senantiasa ngotot. Jujur saja aku tidak mengerti, bukankah ngotot itu melelahkan? Bukankah tetap ngotot itu sangat menguras energi? Menurutku waktu adalah hal yang sangat penting. Dengan denial, atau berusaha kabur dari masalah, pada akhirnya mereka hanya akan menyia-nyiakan waktu mereka tanpa adanya perubahan. Aku banyak belajar dari pengalamanku dan pengalaman-pengalaman orang yang pernah aku kenal. Aku yang dulu sangat takut menghadapi konfrontasi. Bagaimana jika stabilitas yang selama ini dipertahankan rusak? Bagaimana jika keadaan menjadi kacau balau? Tapi ternyata, bahkan ketika aku berusaha untuk 'aman,' kekacauan tetap terjadi. Dan lucunya, ketika semua sudah kacau aku malah baik-baik saja???? Rasa sedih dan kesal pasti ada, namun memang ada kalanya kita harus menghadapi masa sulit itu (dan ternyata tidak seburuk itu). Akan jauh lebih sulit jika aku terus menerus diam karena jika nantinya terlanjur tenggelam, bagaimana caranya menyelamatkan diri? Terlambat.

    Aku justru menemukan diriku yang paling kuat di masa sulit. Memang benarlah jika ada yang berkata bahwa masa sulit akan melahirkan orang-orang yang kuat. Setelah mengalami banyak kegagalan dan kekacauan ternyata aku masih tegak, dan bahkan aku mampu berdiri lebih kuat lagi. Masa sulit melahirkan aku yang lebih dewasa, aku yang lebih teguh pendirian, dan aku yang lebih baik. Aku sudah tidak takut, karena sesungguhnya lebih menakutkan jika aku tidak melakukan apa-apa. Melalui masalah-masalah tersebut, aku jadi menyadari apa yang aku ingin capai di dunia ini. Lewat kekacauan tersebut, arah hidupku semakin matang, prinsip hidupku semakin kuat. Aku bukannya ingin meromantisasi kesulitan, tapi sesungguhnya kita harus terus memperjuangkan hidup untuk masa depan yang lebih baik. Tidak bisa dipungkiri bahwa masalah akan datang silih berganti sehingga kita perlu adaptasi untuk melatih ketahanan kita terhadap masalah. 

    Bertahan bukan berarti kita diam, bertahan bukan berarti kita menormalisasi perlakuan tidak adil, bertahan juga bukan berarti kita menerima semua tindakan buruk dari orang lain. Berjuang itu adalah bentuk bertahan, bahkan melawan juga bisa menjadi salah satu bentuk mempertahankan hidup. Jika bisa diperjuangkan, maka perjuangkan. Meski harus tertatih, meski harus terseok-seok. Jika bisa diselesaikan, maka segera diselesaikan. Bergerak adalah bentuk bertahan, sebuah usaha untuk merubah hidup terlepas hasil akhirnya nanti. Sebaliknya, justru (setidaknya menurutku) dengan diam berarti kita menyerah. Diam berarti kita akan membiarkan keadaan yang ada terus berulang, tidak akan pernah berubah. Belakangan ini aku juga menyadari bahwa di dunia ini ada banyak hal yang tidak datang dua kali. Sejujurnya ini adalah kesalahanku pribadi. Aku sempat menganggap bahwa kesempatan-kesempatan tersebut masih ada. Contoh kecilnya, aku akan menunda sesuatu hanya karena aku merasa bahwa besok masih ada, besok masih bisa. Padahal, siapa yang menjamin hal tersebut? benar saja, lewat sehari ternyata hal tersebut sudah tidak ada. Aku menganggap aku masih punya waktu, yang padahal hal itu tidak selalu benar. Waktu, orang, tempat, bahkan kesempatan itu tidak selamanya ada, tidak selamanya terjadi. Terutama waktu, mundur sedetik saja kita tidak mampu. Secanggih apa pun manusia, tidak ada yang bisa mengembalikan waktu walau sedetik. Menyadari hal ini, aku jadi lebih mensyukuri banyak hal yang terjadi di hidupku. Tidak hanya mensyukuri, tapi aku mencoba untuk hidup di masa ini. Menikmati momen, dan memanfaatkan semua sumber daya yang aku punya. Aku tidak lagi ragu, karena raguku adalah rugiku. Tahun ini aku sangat senang dan bersyukur bisa bertemu banyak orang baik. Tidak hanya baik, namun mereka juga mendukung visi dan mimpi-mimpiku. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang mereka berikan karena mengetahui bahwa menemukan orang yang satu visi misi dan satu frekuensi (a person/people who can see through your soul & understand it) ternyata sangat sulit. Aku akan memegang hidupku erat-erat, dan mengelilingi diriku dengan hal-hal baik; Orang-orang yang supportif; baik itu keluarga, teman, sahabat, mau pun pasanganku di masa depan. Yes, he must be so so soooo grateful to have me in his life.

    Selama ini aku selalu menganggap bahwa aku adalah orang yang berlebihan, tapi sekarang tidak. Ternyata aku tidak berlebihan bagi lingkungan yang tepat. Tulisan ini saja aku tulis dalam beberapa babak. Pertama saat aku pulang bimbingan dan belajar dari Bogor, lalu kedua saat aku selesai belanja kebutuhan untuk belajar baking, lalu ketiga saat aku sedang belajar di garasi. Ketiga babak tersebut memiliki satu kesamaan: semuanya berhubungan dengan proses belajarku. Aku senang bisa kembali belajar, sesuatu yang memang sebenarnya sangat aku sukai dari dulu. Sejak SMA, aku memiliki perpustakaan kecil di sebelah kasurku. Dulu mau pun sekarang, banyak yang mengatakan bahwa aku berlebihan, banyak juga yang mengatakan aku aneh. Untungnya aku cukup acuh dan bahkan membalas, ''Memang." Aku sudah ikhlas dengan cap kerajinan dan aneh, tapi ternyata di lingkungan yang baru semua itu tidak berlebihan. Aku senang membaca buku, aku senang menulis, aku sangat bersemangat dalam berkarya, aku suka mempelajari hal-hal baru dalam hidup. Aku bersyukur setelah semua yang terjadi, aku masih menyukai belajar dan bekerja. Kalau ditanya alasannya sebenarnya cukup kompleks, mungkin kapan-kapan aku akan membahasnya di post lain. Yang jelas, aku sangat bahagia ketika melihat diriku tumbuh dan berkembang. Tidak melulu persoalan achievement yang terukur, namun sesederhana melihat diriku dengan versi yang lebih baik dari versi kemarin, aku mencintai konsistensi dari prosesku sendiri. 

    Setelah proses berpikir yang cukup panjang, aku mencoba merumuskan beberapa prinsip atau peganganku dalam hidup yang barangkali dapat membantu:

  1. Allah's blessings is the standard
  2. You're such a kind soul with bright mind
  3. Jangan takut & malu untuk berusaha
  4. Resilience at its peak
  5. Tidak semua orang sefrekuensi & baik
  6. Have a courage and set boundaries

    Jika kalian pernah membaca surah Al-An'am ayat 162, kalian akan menemukan sebuah firman yang menyebutkan tentang sholat kita, ibadah kita, hidup kita, dan bahkan mati kita semuanya hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Untuk seseorang yang pernah mengalami krisis eksistensi, aku menyadari sesungguhnya hidup itu ya... Lillahi Ta'ala. Pada suatu hari yang melelahkan, mungkin kita akan bertanya "Apa sih yang aku kejar?," "Sebenarnya semua ini untuk apa?," karena nyatanya jika kita mengejar dunia, atau validasi dari makhluk maka semua itu tidak akan ada habisnya. Hal tersebut hanya akan menggerogoti diri kita sendiri. Seperti tren yang akan terus menerus ada, validasi makhluk itu juga akan selalu ada. Jika selesai satu validasi, maka kita akan mengejar validasi lainnya. Sampai kapan? ya sampai lelah, atau bahkan bisa sampai seumur hidup. Berbeda jika kita melakukan semua itu karena Allah. Bukan berarti kita menjadi santai, tidak. Justu, dengan melakukan semua karena Allah maka hidup kita juga akan jadi lebih terarah. Kita tidak lagi silau dengan kenikmatan sementara, kita tidak lagi buta dengan perasaan sesaat. Kita justru tahu dengan jelas tujuan hidup kita, prinsip kita semakin kuat, dan dalam mengusahakannya pun kita bisa menjadi lebih tenang. Tidak apa jika tidak dilihat manusia, karena ada Allah yang akan selalu melihat dan memahami.

    Manusia itu punya satu masalah nasional: gengsi. Apalagi, jika kita harus berusaha benar-benar dari nol. Bagaimana jika orang-orang tahu bahwa kita 'baru segitu,' bagaimana jika orang-orang tahu bahwa kita memulai semuanya dari awal? jawabannya tidak mengapa. Pada akhirnya, semua kerja keras itu kita sendirilah yang akan merasakan. Apa peran mereka dalam hidup kita? Benar, penonton. Mau kita berhasil atau gagal, mereka akan tetap menjadi penonton KECUALI mereka memutuskan untuk melompat, melepaskan status penonton terhadap hidup kita. Faktanya, you'll be okay. Meski nantinya akan ada banyak orang yang meragukan, setidaknya akan selalu ada 1 orang yang senantiasa mendukung: diri kita sendiri. Berusaha adalah bentuk resilience, dan di mata Tuhan semua itu sudah tercatat. Isi postingan-postinganku sebelumnya adalah contoh nyata dari resilience. Badai yang kuat tidak menghalangiku untuk kembai melaut. Justru, dengan mengetahui ada badai sekuat itu aku menjadi termotivasi untuk mempersiapkan diriku dengan sebaik-baiknya. Gagal itu menyakitkan, kekecewaan itu menyayat hati, tapi aku lebih sakit saat aku tidak berdaya dan tidak melakukan apa-apa di hidupku.


Spooooooiler

    Untuk publish berikutnya, aku ingin mencoba eksplorasi topik. Aku merasa sudah cukup pulih untuk mulai menulis hal-hal yang lebih tematik (hore!), akhirnya waktu yang aku tunggu datang juga. Tapi pertama-tama, aku akan menyelesaikan skripsiku dulu HAHA (tolong... aku ingin lulus secepatnya).

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)