Last Falsetto

0

  



    Seumur-umur gua hidup, gua ya cuma taunya belajar. Kalau gua belajar, semua akan lebih baik. Kalau gua berusaha, hidup akan membawa gua ke arah yang lebih bagus. Tapi nyatanya, hidup itu punya banyak faktor. Hidup itu ga hitam putih. 2 Tahun kebelakang gua banyak banget belajar hal baru. Hal-hal yang ga ada di sekolah, hal-hal yang tidak diajarkan di universitas. Setelah semua hal yang terjadi, gua bersyukur bisa bangkit lagi. gua bersyukur bisa mulai semuanya dari awal lagi. Banyak orang yang tidak seberuntung gua, yang terpaksa menyerah sebelum waktunya. Lagi-lagi, seburuk apa pun hidup memperlakukan gua, pada akhirnya gua masih memilih untuk bertahan.


    Selama ini gua tuh ga sadar terhadap nilai yang gua punya. Gua memang cenderung melihat diri gua rendah, biasa saja. Padahal, apa yang gua punya, semua anugerah yang Allah kasih ke gua itu sangat berharga. Selama ini, gua selalu menganggap diri gua remeh, tidak pernah merasa cukup sekeras apa pun gua berusaha. "Ah, bukankah semua orang juga seperti ini? aku kan biasa aja." Tapi ternyata, yang penting itu bukan hanya persoalan output, tapi mentalitas dalam prosesnya. Tidak semua orang segigih gua, tidak semua orang itu ambisius. Ya, itu adalah preferensi dan pilihan hidup masing-masing, kan? dan itu tidak masalah. Yang menjadi konteks di sini adalah, gua tidak pernah sadar atas kualitas yang gua miliki. Bukankah menjaga diri adalah hal yang biasa? tapi nyatanya tidak semua orang bisa menjaga diri. Bukankah semua orang juga bekerja keras? tapi nyatanya banyak juga orang malas. Bukankah semua orang memperlakukan sesamanya dengan baik? tapi nyatanya banyak juga orang yang dzalim. Tidak semua orang meyakini apa yang gua yakini, tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama seperti gua. Gua menyamaratakan standar gua ke orang lain hanya karena hal tersebut biasa bagi gua.


    Rasanya lelah, muak sekali. Dikelilingi orang-orang yang bukan hanya tidak sefrekuensi, namun juga menguras mental dan nilai-nilai yang gua pegang. Ini bukan hanya tentang romansa, tapi semuanya, secara garis besar. Gua merasa seperti orang bodoh, berusaha keras berbicara dengan tembok. Semuanya memantul, hanya kembali ke kuping gua sendiri tanpa hasil. Apa yang gua yakini dan gua lakukan tidak pernah benar, serba salah. Gua frustrasi sampai di titik gua mempertanyakan diri sendiri, apa memang gua yang salah? apa memang gua yang aneh? apa memang gua yang berbeda? capek sekali.


    Lewat postingan ini, gua ingin menutup semuanya. Bukan, gua tidak menyerah. Justru, ini adalah titik balik. Gua tidak akan melihat ke belakang lagi. Gua akan memegang dengan erat hidup yang selama ini sangat berharga. Gua akan mengasah diri dengan sungguh-sungguh terutama setelah mengetahui bahwa gua punya probabilitas. Tidak hanya mengembalikan apa yang sebelumnya gua punya, tapi gua akan terus improve menembus batas yang sebelumnya gua yakini gua tidak mampu. Gua tidak ingin membatasi diri gua lagi. Gua tidak mau setengah-setengah lagi dalam menyikapi hidup. Mungkin, di cerita lain gua akan terlihat seperti antagonis. Mungkin, di kehidupan orang lain gua akan terlihat seperti orang jahat. Wajar, karena kita adalah pemeran utama dalam cerita kita sendiri, mereka bebas memiliki asumsi terhadap diri gua. Yang jelas di hidup gua, gua adalah spotlightnya. Karena di setiap perjalanan hidup, di setiap fase, semua keputusan yang diambil itu gua yang akan menjalani. gua yang akan merasakan semua akibatnya, gua yang akan menanggung konsekuensinya seumur hidup.


    Sekufu itu nyata, setara itu harus. Ibaratnya bagaimana bisa lu berlari bersama seseorang kalau lu berada di pace yang berbeda? pilihannya cuma dua: dia yang mengejar, atau lu yang melambat. Tapi ini bukan soal lari. Nyatanya, ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita rubah. Sekeras apa pun gua berusaha, sebaik apa pun niat gua. Ini bukan berarti gua merasa lebih baik, tidak. Justru, karena gua menghargai perbedaan itulah gua memilih mundur, gua berusaha menghargai dengan memilih pergi. Sejatinya itu adalah hidup mereka, memutuskan untuk agree to disagree karena di satu titik, lu akan berada di persimpangan jalan dan harus memilih. Sesimple itu bukan? karena pada akhirnya gua juga ingin berkumpul dengan orang-orang yang mirip, yang memiliki visi misi serupa, yang bisa melihat dan mengembangkan potensi gua. Kalau orang-orang yang ada di sekitar gua memiliki pace dan kecenderungan yang sama, tentu ini tidak akan menjadi masalah. Malahan, perbincangannya akan seputar "Apakah kita perlu upgrade gear?" atau "apa saja yang perlu kita tingkatkan agar bisa bertahan sampai garis finish? bahkan "apa strategi kita agar bisa menang?."


    Kalau lingkungannya tepat, ambisi gua ga diremehin. Kalau orang-orangnya satu frekuensi, gua ga dianggap aneh. Kalau tempatnya baik, prinsip gua akan dihargai. Kalau orangnya sekufu, gua tidak perlu lagi mendebatkan hal-hal basic, mempermasalahkan hal yang itu-itu saja, yang menjadikan gua tidak bisa maju kedepan, stuck. Menjaga batas itu perlu, dan mempertahankan prinsip itu lebih perlu lagi. Komitmen yang paling penting adalah komitmen terhadap diri sendiri. Bahwa lu akan terus mengusahakan yang terbaik, lu akan terus menjaga dan memperbaiki diri sepanjang hidup lu. Gua juga bukan orang yang sempurna, kesalahan gua banyak. Tapi hal penting yang selama ini gua pegang adalah: gua mau belajar, dan gua mau terus memperbaiki & improve diri gua. Kesalahan gua banyak, tapi gua juga tidak menutup diri terhadap perubahan. Gua mengakui kesalahan dan tidak mau memakluminya di masa depan, itu cukup. 


You can be kind and still walk away,

you can be kind and still say no,

you can be kind and still disagree with people,

you can be kind and still set boundaries,

kindness isn't about sacrificing yourself. It's about including yourself in the circle of care.

You're allowed to speak up and challenge poor behavior, while staying kind.

- @shariiamiri via instagram


    Lagi-lagi, gua ingin mengucapkan rasa syukur karena bisa sampai di titik ini. Bukan titik di mana gua memendam rasa kesal, amarah berlarut-larut. Bukan di titik gua melancarkan "balasan" untuk orang-orang yang dianggap jahat, bukan di titik melakukan sebuah pembuktian agar mereka menyesal, bukan di titik gua berhenti menangis karena merasa sudah lebih kuat, namun titik di mana semua ini gua anggap sudah selesai. Sudah, itu adalah fase hidup gua di umur 20an awal. Itu semua diperlukan untuk membentuk diri gua yang sekarang. Tidak perlu disesali berlarut-larut, karena tanpa semua itu bisa jadi gua masih akan tetap menjadi diri gua yang dulu. Sederhananya, gua hanya memutuskan untuk move on, tanpa menyisakan perasaan yang menggantung dan mengganjal. Gua sudah menyelesaikan semua hal yang perlu diselesaikan, bertanggung jawab sampai akhir. Dan ketika cerita tersebut sudah menjadi titik, langkah selanjutnya adalah membuat cerita baru dengan diri gua yang sudah jauh... jauh lebih baik, InsyaAllah.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)