"Luqman itu siapa?," merupakan pertanyaan sejuta umat yang keluar saat melihat surah ini. Luqman bukanlah satu-satunya surah yang menggunakan nama seseorang. Nuh, Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, dan Muhammad juga merupakan surah yang diambil dari nama seseorang. Bedanya, kita semua tahu bahwa nama-nama yang disebutkan tadi adalah kumpulan nama nabi dan rasul yang wajib diimani. Sedangkan Luqman, siapa?
Sebelum masuk ke pembahasan surah, aku akan memberi sedikit impresi pribadi dari surah ini. Luqman adalah salah satu surah yang terdapat pada Juz 21 setelah surah Ar-Rum. Surah ini tidak sepanjang Ar-Rum karena hanya memakan 2 lembar dari Al-Qur'an, tapi pelafalan surah ini juga tidak semudah surah selanjutnya, yakni As-Sajdah. Aku cukup struggle untuk menghabiskan surah ini meski termasuk pendek, hingga akhirnya aku mendapat ide, "Kenapa tidak mencari konteks dari surah ini saja?." Terkadang, menghafal itu terasa sulit karena kita benar-benar hanya menghafal. Seperti menghafal perkalian, seperti menghafal tabel periodik. Tidak ada konteks, pokoknya dihafal saja. Hal ini sesungguhnya sangat beresiko karena manusia itu tempatnya lupa. Jika tidak diikat, maka hafalan akan mudah sekali terlepas. Aku sudah merasakan bagaimana hafalan itu menguap satu-persatu, dan rasanya sangat menyakitkan. Ketika ditanya orang tentang sebuah surah, maka aku hanya dapat mengatakan, "Aku pernah hafal," sebuah tragedi. Kalau dulu pernah hafal, kenapa sekarang tidak? sedih sekali memang.
Lalu, apa penawarnya? selain rajin mengulang, hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan mempelajari konteks tersebut. Bisa dimulai dari membaca artinya, mencari tahu asbabun ayat tersebut, dan bisa juga dengan mulai belajar bahasa arab. Trust me, membaca Al-Qur'an disertai dengan paham bahasa arab akan memudahkan kita dalam menghafal. Tidak hanya mempermudah, namun juga memberi sensasi baru, highly recommend. Selanjutnya, menulis juga bisa dijadikan opsi untuk mengikat sesuatu, tidak hanya hafalan, namun ingatan secara keseluruhan. Tulisan-tulisan di sini merupakan ingatanku yang tersisa (karena sejujurnya ada lebih banyak hal yang aku lupakan dibanding hal yang aku ingat), dan juga ingatan-ingatan yang berusaha aku gali kembali. Singkatnya, merawat kebiasaan menulis adalah bentuk merawat ingatan dan kenangan, termasuk hafalan.
Kembali ke pembahasan Surah, ada banyak versi mengenai siapa sebenarnya Luqman. Luqmanul Hakim, begitulah sebutannya berdasarkan surah Luqman ayat 12. Ada yang berpendapat bahwa Luqman adalah nabi, namun kebanyakan ulama berpendapat bahwa ia bukanlah nabi karena minimnya bukti yang signifikan tentang kisah kenabiannya. Luqman adalah seorang hamba yang shalih, dan diberi kelebihan oleh Allah berupa hikmah. Hikmah di sini berarti memiliki pemahaman akan ilmu dan mempunyai kesadaran yang tinggi atas dirinya dan agamanya. Melalui deskripsi tadi, bisa disimpulkan bahwa Luqman adalah seorang yang bijak. Dikutip dari tafsir Ibnu Katsir rahimahullah, Luqman disinyalir memiliki nama lengkap Luqman bin 'Anqa' bin Sadun dan dikaruniani seorang anak yang diberi nama Taran, wallahualam.
Di dalam surah Luqman, pertama-tama Allah berfirman bahwa Dia telah memberi Luqman hikmah dan diikuti rasa syukur. Ya, Allah telah menganugerahkan Luqman berupa ilmu, agama, benar dalam ucapan, dan kata-kata bijaknya dapat dipedomani orang lain. Ditambah, Luqman adalah orang yang pandai bersyukur atas dirinya dan kehidupannya. Jika kita mengaitkan dengan tren wellness yang saat ini sedang menjamur, sebenarnya salah satu kiat untuk menjadi manusia yang mindful adalah dengan memperbanyak syukur. Dan ternyata, rasa syukur adalah salah satu pangkal dari mindfulness, langkah untuk menjadi lebih bijak dan memperbaiki hidup. Memang terbukti benar firman Allah di surah lainnya, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti akan Aku tambah (nikmat) kepadamu."
Pada ayat selanjutnya, ayat 13, Luqman mulai memberi nasihat kepada anaknya. Nasihat tersebut dimulai dengan seruan untuk tidak mempersekutukan Allah, sebuah nasihat yang paling utama. Di antara semua dosa yang ada, mempersekutukan Allah adalah satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni, kezaliman yang besar. Bagi yang sudah menjadi muslim, mungkin hal ini akan terlihat sepele. Namun, tahukah kalian bahwa dalam kalimat syahadat, sesungguhnya kita mengucap Laa Ilaaha illallah dan bukan Laa robbi illallah. Kenapa? karena kita tidak hanya sekadar mengakui bahwa tiada tuhan (Robb) selain Allah, melainkan kita juga berikrar untuk selalu menghambakan diri (Ilah) dan bergantung hanya kepada Allah semata. Tidak hanya sekadar ritual, namun semua kebergantungan kita sejatinya harus disandarkan kepada Allah.
Lebih lanjut di ayat 14, Luqman berwasiat agar manusia senantiasa berbakti, berbuat baik kepada orang tua khususnya ibu. Luqman menyebut bahwa Ibu adalah sosok yang mengandung dan melewati kelemahan demi kelemahan (Wahn 'Ala Wahn). Kelemahan yang dimaksud banyak, karena mulai dari fase kehamilan saja seorang Ibu harus menahan sakit demi sakit, untuk bisa melahirkan seorang anak yang dicintainya. Semua keletihan itu, ditempuh untuk melahirkan kita ke dunia. Sebagai perempuan pun aku juga jadi berpikir: apakah di masa depan nanti aku sanggup menanggung dan menahan semuanya? apakah aku kuat menjalani kelemahan demi kelemahan tersebut? membayangkan hal yang masih ada di masa depan itu cukup menakutkan. Tapi aku rasa, jika hal tersebut dijalani bersama seseorang yang siap untuk menemani, mendukung, dan membantuku secara penuh, Allah akan memberi serta mempermudah prosesnya, Aamiin. Setelah melahirkan, perjuangan seorang ibu pun tidak berakhir. Bahkan, semua baru saja dimulai. Ibu harus menyapihnya selama 2 tahun agar sang anak mendapat gizi yang terbaik dari ibunya. Dengan mengingat semua perjuangan ibu dan orang tua pada umumnya, maka sudah sepatutnya kita bersyukur, menghormati, dan berbuat baik terhadap mereka.
Apakah bakti tersebut berlaku tanpa terkecuali? tentu tidak. Pada dasarnya, orang tua juga manusia. Luqman berpesan untuk tidak mematuhi mereka jika mengajakmu untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah. Ada satu kisah menarik yang disebut Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Dikisahkan seorang pria bernama Sa'ad bin Malik yang sangat berbakti kepada ibunya hingga suatu hari, ia memutuskan untuk masuk islam. Ibunya tidak bisa menerima fakta bahwa Saad telah berpindah agama hingga memberikan sebuah ultimatum, "Engkau tinggalkan agamamu itu atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati!." Setelah mendengar perkataan tersebut, rupanya Saad tidak goyah. Satu hari satu malam berlalu tanpa sedikit pun Ibunya menyentuh makanan, dan Saad tetap teguh pendirian pada islam. Satu hari satu malam dilalui lagi tanpa makan dan Saad tetap memeluk islam. Tidak tahan melihat ibunya bertindak sejauh itu, Saad akhirnya mengatakan "Wahai Ibuku, harap engkau ketahui! Demi Allah, kalau sekiranya engkau mempunyai seratus jiwa, dan jiwa itu satu persatu meninggalkanmu agar aku meninggalkan agamaku, demi Allah aku tidak akan meninggalkan agamaku ini apa pun yang terjadi. Maka makanlah kalau kau mau makan, kalau tidak mau makan, itu terserah pada Ibu." Perkataan tadi menandakan akhir dari kisah tersebut karena akhirnya ibu Saad memutuskan untuk makan dan menghentikan konfrontasinya.
Selanjutnya pada ayat 16, Luqman mengingatkan anaknya bahwa segala perbuatan yang dilakukan di dunia ini, sekecil apa pun itu, pasti akan ada balasannya. Hal ini merupakan ungkapan taqarrub, merasa dekat dengan Allah dan meyakini Allah selalu mengawasi kita. Dengan menanamkan hal tersebut ke dalam diri, rasa tanggung jawab akan muncul sehingga kita akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Pada dasarnya, standar kita dalam bertindak itu adalah Allah, bukan manusia. Apakah jika tidak ada manusia yang melihat maka kita bisa melakukan hal sesuka hati? tentu tidak. Di mana saja kita berada, kapan pun itu, akan selalu ada Allah Yang Maha Melihat. Bayangkan, di alam semesta seluas ini, kita itu bukan siapa-siapa, kita itu tidak signifikan, kita hanyalah titik yang sangat kecil. Namun, eksistensi titik ini ternyata tetap berada di bawah pengawasan-Nya, Maha Besar Allah. Hal ini juga berhubungan dengan ayat selanjutnya karena pada ayat 17 Luqman menasehati anaknya agar tidak sombong. Ya, Allah tidak menyukai hamba-Nya yang sombong. Jika kita kembali mengingat kebesaran Allah, aku rasa tidak sepantasnya kita untuk menyombongkan diri. Di bumi yang kecil ini, manusia tidak pantas untuk menyombongkan dirinya karena pada dasarnya apa yang kita miliki itu benar-benar tidak berarti di hadapan Allah.
Jika dilihat dengan seksama, rangkaian nasihat yang diberikan Luqman kepada anaknya adalah bentuk dari pemberian pendidikan agama dalam keluarga. Sedari kecil, anak perlu diajarkan mengenai ketuhanan, eksistensi dan tanggung jawab kita sebagai manusia dan hamba Allah, rasa bakti berdasarkan integritas, dan mengingatkan agar terus membumi. Hal-hal yang diajarkan Luqman adalah hal fundamental yang perlu dipegang erat-erat, sebuah pedoman, sebuah kunci untuk menjalani hidup. Saat awal membacanya, jujur saja aku merasa biasa saja. Apalagi, di dalam Al-Qur'an ada banyak sekali ayat yang berisi peringatan dan nasihat. Namun setelah aku telaah kembali, ternyata nasihat Luqman ini memiliki bobot yang sangat besar untuk hidup. Nasihat Luqman merupakan bentuk kasih sayang terhadap anaknya, mengandung harapan agar sang anak tidak tersesat, agar kelak anaknya senantiasa memilih jalan yang diridhoi Allah. Apakah ayat tersebut terbatas untuk anak-anak? tidak juga. Ayat ini bisa ditujukan untuk siapa pun, termasuk aku, termasuk kita semua. Sebagai penanda, tentang hakikat kita sebagai manusia, tentang apa saja yang perlu kita yakini dan pegang selama hidup. Di dunia yang fana ini, Luqman Sang Bijak hadir sebagai pengingat untuk tetap memilih ketaatan di jalan Allah.