Gua merasa harus menulis hal ini sebagai reminder untuk diri gua sendiri di masa kini atau pun nanti tentang pentingnya memiliki awarness terhadap hidup dan terutama terhadap diri sendiri.
Manusia itu tidak ada yang sempurna, setuju.
Setiap manusia juga pasti akan memiliki penyesalan dan kesalahannya tersendiri, setuju.
Manusia itu dinamis dan bisa berubah, setuju.
Setiap manusia berhak diberi kesempatan, setuju juga.
Gua sendiri sadar, bahwa sebagai manusia gua memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Bagi gua, semua manusia itu sama di mata Allah, yang membedakan itu hanya ketaqwaannya saja. Gua tidak pernah dan tidak mau memandang orang sebelah mata. Karena, gua tidak tahu kehidupan apa yang telah orang tersebut alami selama ini, gua juga tidak tahu beban apa yang dia pikul hingga menjadi seperti itu. Hidup sesungguhnya bagai roda yang berputar, dan kita tidak tahu bagaimana dirinya dan kehidupannya di masa depan nanti akan seperti apa. Lihatlah seseorang dari hatinya, bukan hanya dari apa yang tampak oleh mata.
Statement di atas terlihat sangat bagus bukan? hal tersebut memang benar, karena Allah itu Maha Membolak-balikan hati, Allah juga lah yang mampu mengubah nasib dan hidup seseorang. Tapi, ternyata ada satu kekurangan dari pemahaman gua selama ini:
Gua terlalu naif
Kebaikan itu adalah kekuatan. Bahkan saat dunia tidak memperlakukan kita dengan baik, kebaikan itulah yang akan tetap mengantarkan kita menuju hal baik lainnya. Tapi, gua terlalu menelan hal tersebut mentah-mentah. Dunia itu kompleks dan penuh konteks. Apa yang gua baca dari buku, gua pahami dari menonton berbagai video pembelajaran tidak bisa diaplikasikan secara harfiah, plek-ketiplek. Pengalaman yang dialami manusia itu bersifat unik, bahkan anak yang lahir kembar pun tetap memiliki perbedaan. Kita tidak bisa memahami sesuatu terlalu gamblang, itu namanya naif dan polos, dan itulah gua.
Sejak zaman sekolah pesantren, gua selalu diingatkan untuk jangan menjadi orang yang sombong, "Bertawadhulah, bertawadhulah." Gua juga setuju dengan hal tersebut karena ilmu yang dimiliki manusia itu bagai buih di lautan. Sangat kecil, sangat tidak berarti dibanding ilmu Allah. Gua sangat terbuka dengan orang lain. Gua memberi kesempatan kepada semua orang. Karena hal tersebut, gua jadi mendapat banyak teman dan pengalaman baru.
Berteman dengan seseorang itu sangat menyenangkan. Teman baru, pengalaman baru, cerita baru. Gua jadi belajar banyak hal, dan menyadari bahwa ada banyak sekali ragam kehidupan di dunia ini. Selama hidup gua juga dikelilingi banyak orang baik. Keluarga yang baik, saudara-saudara yang baik, dan teman-teman yang baik. Gua tumbuh dengan kasih sayang, dan gua tidak ingin kasih sayang dan kebaikan ini berhenti begitu saja. Semua tampak baik-baik saja, hingga akhirnya gua menyadari bahwa:
Tidak semua orang di dunia ini baik
Berkenalan dengan orang baru itu sangat tidak apa-apa, tidak ada yang salah. Namun, untuk melanjutkan hingga ke tahap pertemanan yang dekat atau bahkan berpasangan, kita harus selektif. Selama ini gua merasa bahwa gua sudah cukup pintar, sudah cukup bijak dalam bersikap atau pun untuk melakukan sesuatu. Kalau orang yang gua temui tidak baik, toh gua akan tetap menjadi baik. Meski berada di lingkungan yang menjerumuskan, tapi gua punya kontrol diri. Meski orang yang gua temui memiliki banyak kekurangan, gua bisa mengajak dia menjadi lebih baik lagi. Gua merasa cukup baik, memiliki prinsip yang kuat, dan konsisten dengan apa yang gua jalani. Hal tersebut tidak akan mempengaruhi nilai gua. Namun belakangan gua menyadari, bahwa orang-orang yang berada di sekitar kita ternyata akan SANGAT mempengaruhi pekembangan hidup kita kedepannya. Secara tidak sadar, mereka akan pelan-pelan mempengaruhi keseharian kita, pola pikir kita, hingga prinsip kita.
Gua akan memulai dari lingkaran pertemanan dulu. Teman itu sebenarnya apa? setidaknya bagi gua, teman itu adalah orang yang bisa diajak untuk berbicara, bercanda, bertukar pikiran, atau sekadar hanya ngobrol tidak jelas. Teman adalah seseorang yang bisa kita temui di sepanjang perjalanan kita. Teman masa kecil, teman semasa sekolah, teman kerja, hingga teman satu hobi. Apa yang bisa kita bicarakan dengan ragam teman itu tergantung dari di mana kita awal bertemu dan berdasarkan kesamaan minat atau pengalaman. Mereka adalah orang yang sedikit banyak mempengaruhi kita. Karena dari interaksi itulah, kita jadi belajar benar atau salahnya sesuatu di dalam masyarakat. Kita belajar menghargai, belajar toleransi, dan belajar berkomunikasi.
Setelah menjadi teman, maka selanjutnya adalah persahabatan. Tidak semua teman yang kita punya bisa menjadi sahabat. ada kriteria tertentu untuk bisa menganggap seseorang menjadi sahabat. Paling tidak, kita tahu bahwa dia adalah orang yang baik, bisa dipercaya, amanah. Amanah terhadap cerita-cerita kita, amanah terhadap tanggung jawabnya juga. Kesalahan gua dimulai dari sini. Kenapa? karena gua tidak menggunakan filter untuk memilih mana orang yang bisa gua percaya dan mana yang tidak, mana orang yang bisa gua ajak bercerita banyak hal dan mana yang tidak. Menurut gua, orang-orang yang gua temui itu semuanya baik kok, mereka sangat seru dan asik, gua nyaman bersama mereka. Padahal... keseruan dan kenyamanan itu TIDAK SAMA dengan baik.
Gua terlena dengan keseruan itu, gua terlena dengan kenyamanan tersebut. Bagaimana tidak, manusia mana di dunia ini yang tidak senang menemukan orang yang mampu membuatnya nyaman? mengobrol dengan mereka terasa sangat indah dan menyenangkan. Gua tidak harus menjadi siapa pun, tidak ada ekspetasi apa pun, hanya ada tawa dan suka cita. Namun, apakah mereka baik untuk gua? belum tentu. Jika hubungan ini hanya sekadar permukaan saja, maka semua masih akan baik-baik saja. Tapi, untuk masuk ke layer berikutnya, ada banyak yang hal perlu dipertimbangkan. Kita tidak bisa mengambil keputusan berdasarkan kesenangan dan kenyamanan sesaat.
Setelah berada di beberapa lingkungan yang cukup kontras, gua menemukan cara untuk mengetahui apakah suatu lingkungan pertemanan, atau bahkan seseorang yang potensial dijadikan pasangan baik untuk kita atau tidak, yakni:
Memiliki Self-Awareness
Self-Awareness berarti kita sadar terhadap diri kita sendiri. Sadar di sini memiliki arti bahwa kita sadar terhadap nilai yang kita punya, prinsip yang kita pegang, batasan yang kita jaga. Self-awareness bukan berarti sombong. Justru, dengan mengetahui value yang dimiliki, secara tidak langsung kita sedang menjaga diri kita sendiri. Bayangkan ketika kamu kagum dengan seseorang, kamu pasti akan cenderung terinspirasi dan mengikuti apa yang dia lakukan, bukan? hal tersebut tidak jauh berbeda dengan berteman dengan seseorang. Apa yang dia lakukan, apa yang dia pikirkan lama-lama akan "menular" kepada kita. Jika dia baik, maka kita akan termotivasi menjadi baik juga. Namun jika dia buruk, maka kita akan perlahan menjadi buruk juga. Menjadi pemilih itu ternyata penting demi kebaikan diri kita sendiri.
Sekarang bayangkan jika kita berada di lingkungan yang menormalisasikan dosa. Mereka asik, mereka seru, mengobrol bersama mereka terasa seperti kembali ke "rumah" yang diidam-idamkan. Kita akhirnya bisa menjadi diri sendiri tanpa topeng apa pun. Menemukan kembali sosok anak kecil dalam diri kita yang sempat terlupakan, berbicara dengan leluasa, dan menerima banyak kebahagiaan sepanjang waktu. Semuanya terasa sangat menyenangkan hingga akhirnya kita berada di persimpangan jalan. Kita memang merasa nyaman, tapi apakah itu semua sepadan dengan resiko?
Kita bahagia, tapi di satu sisi kita merelakan prinsip kita. Kita bahagia, tapi kita harus merelakan nilai yang selama ini dianut. Ini baru konteks pertemanan, apalagi jika masuk ke ranah pasangan, kita bisa menjadi lebih nekat dan sembrono dalam mengambil keputusan. Atas nama cinta, kita siap merelakan segalanya. Atas nama cinta, kita siap melawan siapa pun. Atas nama cinta, kita siap meruntuhkan hidup kita sendiri. Cinta itu membutakan, dan kita akan selalu mencari pembenaran demi cinta. Bagi orang yang "terlalu lurus, naif, dan polos," menerima cinta itu bagai merasakan oase di tengah padang pasir: Melenakan, dan menjerumus. Gua tersadar bahwa gua adalah orang yang sangat naif, dan semua hal itu berawal karena gua mulai memaklumi sesuatu.
Dalam Surat Al-A'raf ayat 17 sebenarnya Allah telah berfirman:
"Kemudian, pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur."
Siapakah aku yang dimaksud? aku di sini adalah Iblis. Artinya, untuk mewujudkan misi iblis dalam menjerumuskan manusia, mereka akan menggunakan berbagai cara. Godaan iblis itu tidak selalu terang-terangan, tidak selalu to-the-point, tapi... semua itu bisa berawal dari pemakluman. Godaan kanan adalah ibadah yang bercampur dengan kesombongan, sementara godaan kiri adalah maksiat yang dibungkus dengan pembenaran. Semua hal itu terjadi secara pelan-pelan dan halus. Awalnya, kita akan memaklumi 1 kesalahan. Awalnya, kita akan mengiyakan 1 kelonggaran. Hal itu terjadi secara berulang hingga akhirnya bertumpuk, menjadi bukit, dan setelah semuanya terlambat kita baru menyadari: Kita telah kehilangan diri kita. Dalam prosesnya, prinsip kita, pendirian kita, terkikis pelan-pelan atas dasar pemakluman dan pembenaran hingga tidak ada yang tersisa pada diri kita lagi.
"Tidak apa-apa, dia 'baik' kok."
"Tidak apa-apa, manusia itu tempatnya khilaf."
"Tidak apa-apa, nanti pasti berubah kok."
"Tidak apa-apa, manusia berhak diberi kesempatan."
"Tapi aku nyaman sama dia."
"Cuma dia yang bisa ngertiin aku."
"Aku sudah terlanjur sayang."
Yang jadi pertanyaan adalah, seberapa jauh lagi kita mau memaklumi kesalahan? seberapa jauh kita bisa toleransi kekurangan? seberapa jauh kita akan mengatakan tidak apa-apa? seberapa jauh kita akan menabrak standar dan batas kita sendiri? Seberapa jauh... seberapa banyak... sampai akhirnya diri kita hancur duluan. Apakah kalian tahu? kelebihan gua itu adalah baik. Tapi, kekurangan gua adalah juga terlalu baik. Gua terlalu banyak memberi kelonggaran kepada orang yang salah. Gua terlalu banyak memaklumi kesalahan yang tidak seharusnya dinormalisasikan. Gua memberi kepercayaan berkali-kali kepada orang yang tidak pernah berubah. Kesalahan itu ada tingkatnya, dan pemakluman itu juga ada batasnya. Jika sudah menyentuh hal yang sifatnya fundamental, gua merasa tidak seharusnya kita bisa negosiasi.
Baru-baru ini gua mengerti, bahwa kita tidak bisa benar-benar mengubah seseorang. Sebelum bertemu gua, mereka telah menjalani hidup mereka sendiri. Sebelum gua datang, mereka sudah punya nilai-nilai yang mereka anut. Manusia itu sebenarnya dinamis, tapi kita juga harus sadar kalau people do function differently. Gua setuju jika hal-hal dan kebiasaan remeh bisa diubah. Tapi sesuatu yang menyangkut prinsip, core dari seseorang itu tidak berubah. Katakanlah, kita ingin dia berubah menjadi lebih baik dan ya, dia mulai berubah. Tapi, sampai tahap mana? alasannya apa? dan bertahan sampai kapan? Perubahan ekstrim itu biasanya terjadi karena adanya kejadian luar biasa, trigger yang dialami seseorang. Di luar hal tersebut, manusia kebanyakan tidak akan berubah sefatal itu. Jangan mengubah seseorang menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Sederhana saja, gua sendiri sangat merasa bahwa membangun kebiasaan sehari-hari itu susah. Jika untuk membangun kebiasaan bangun tepat waktu saja susah, bagaimana dengan kebiasaan lainnya? jika untuk rajin mengaji saja susah, bagaimana dengan amalan lainnya? Perubahan itu harus atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, janganlah kita mengambil peran Tuhan. Sebagai manusia, peran kita hanyalah sebagai pemupuk motivasi dan katalisator. Soal berubah atau tidaknya seseorang, itu adalah urusan dia dengan Tuhannya. Dan lucunya, hal ini sejatinya telah diberitahukan sejak dulu pada Hadits Arbain ke 1 tentang niat:
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju." (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]
Ya, hijrah itu harus karena Allah. Bolehlah kita termotivasi karena sesuatu dan karena seseorang. Tapi, niat itu haruslah karena Allah. Mengapa ini penting? karena, manusia itu tempatnya salah dan kecewa. Bahkan gua sendiri, meski sudah berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi, sangat yakin bahwa gua akan melakukan kesalahan dan mengecewakan pada tahap tertentu. Niat yang tidak tulus itu tidak akan bertahan lama. Misalkan, dia berubah karena kita. Lalu, ternyata suatu hari karena sebuah masalah dia akan kecewa dengan kita. Di titik tersebut, perubahan dia akan goyah, hijrah dia akan selesai sampai situ saja. Ketika kita pergi, maka dia akan kembali ke titik awal, ke titik di mana core dia berada. Namun, jika dia memiliki niat karena Allah, maka apa pun yang terjadi, perubahan dia tidak akan pernah goyah. Standar dia adalah Allah.
Gua tidak akan terlalu menyalahkan mereka yang seperti itu, karena kesalahan juga datang dari gua. Kenapa dari awal gua membukakan pintu? Kenapa dari awal gua mempersilakan masuk? Jikalau gua memiliki self-awareness sejak awal, gua pasti tidak akan memberikan kesempatan mereka untuk menghancurkan diri gua. Gua berhenti berlagak seperti pahlawan, dan memutuskan pergi untuk mencari diri gua kembali yang sempat hilang.
Hal ini memang telah menjadi masalah gua sejak lama bahwa gua sering memandang rendah diri sendiri. Gua selalu merasa bahwa diri gua biasa aja, tidak signifikan, dan tidak pantas. Akhirnya? orang-orang yang datang ke hidup gua pun sesuai dengan prasangka gua. Awalnya, gua menganggap menjadi selektif itu berarti sombong, karena gua bersikap eksklusif terhadap siapa yang ingin gua jadikan teman mau pun pasangan. Tapi, selektif itu bukan sombong. Sombong itu adalah ketika kita memandang orang rendah. Sementara gua? gua tidak pernah dan tidak akan mau melihat manusia dari kacamata duniawi seperti itu. Perbedaan yang mencolok adalah, kita bisa saja berkenalan dengan siapa pun, berteman dengan berbagai orang dari macam-macam latar belakang. Namun, untuk bisa menjadi orang yang akan kita ajak berdiskusi, menyelesaikan masalah bersama, bertumbuh dan berkembang, kita perlu hati-hati. Tolong diingat bahwa 5 orang terdekat adalah gambaran dari diri kita. Perbedaannya sangat sederhana. Ketika sombong, hal yang kita pikirkan sangat materialistis. Tapi ketika kita selektif, hal pertama yang menjadi concern kita adalah prinsip dan standar hidup yang kita pegang, "apakah orang ini baik untukku, untuk agamaku, untuk hidupku kedepannya, dan untuk kehidupan akhiratku kelak?."
Orang jahat itu sejatinya ada. Jahat di sini tidak selalu tentang kriminalitas. Mereka bisa jadi orang-orang yang mengecilkan diri kita, tidak senang dengan kebahagiaan kita, merasa terancam setiap kali kita berkembang, crab mentality. Sejak awal, mereka tahu kualitasmu. Percayalah, mereka sadar sejak awal. Tapi, mereka akan menyembunyikannya dan malah berusaha untuk "menggagalkannya" secara halus, dibalut dengan perhatian dan kasih sayang. Gua juga tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Kalau dalam logika seorang wilda, bukankah itu adalah hal yang bagus jika orang yang sama-sama ingin bertumbuh dan berkembang bersatu? bukankah sangat menyenangkan mengusahakan hidup dan mimpi untuk menjadi lebih baik lagi? Tapi ternyata, tidak semua memiliki pemikiran seperti itu. Awalnya, prinsip gua masih kuat. Namun perlahan gua mulai mempertanyakan, "Apakah prinsip gua benar?," "Mengapa hanya gua yang berbeda, apa gua yang salah?," dan berbagai pertanyaan lainnya.
"Udah, kamu mending begini saja."
"Ngapain sih begitu."
"Pikiranmu saja mungkin."
"Kok kamu...."
Ya, itulah pentingnya berkumpul dan memilih orang sekufu, setara. Sekufu tidak hanya soal harta dan persoalan duniawi. Tapi juga bagaimana cara mereka memandang kehidupan, mengusahakan akhirat, bagaimana cara mereka hidup selama ini, dan konsistensi mereka untuk selalu berada di jalan yang diridhoi oleh Allah. Dengan senantiasa menjaga diri, sejatinya itu sudah cukup menjadi bukti bahwa kita sebenarnya pantas mendapatkan yang baik juga. Kita pantas mendapatkannya sebagai reward atas keberhasilan kita dalam menjaga diri, dan menjaga kehidupan kita dengan sangat.. sangat.. sangat.. baik. Pilihlah seseorang yang baik agamanya, baik akhlaknya, baik kehidupannya, baik cita-citanya, baik pemikirannya, baik prinsipnya, baik visi misi hidupnya, melakukan semua hal baik yang senantiasa berdasar kepada ridho dan rahmat Allah di atas segalanya. Sebenarnya dari awal kita tahu, dari awal kita sudah bisa merasa dengan hati kita, dengan intuisi kita apakah sesuatu yang sedang kita jalani ini baik atau tidak. Hati gua sejatinya tidak tenang, selalu gelisah. Namun, gua mengelak. Gua selalu mencari pembenaran, gua selalu berusaha memaklumi, gua selalu membela dan defensif. Gua mengabaikan semua nasihat dari orang-orang tersayang. Dan yang lebih penting, gua tahu bahwa gua sedang mengkhianati standar, kriteria, dan hati nurani gua sendiri. Ketahuilah, bahwa orang-orang tersayang yang telah menemani perjalanan hidup kita selama ini sesungguhnya lebih paham. Mereka tahu orang seperti apa kita ini, mereka tahu bahaya yang sedang mengintai kita, mereka lebih bisa melihat keadaan secara lebih objektif dibanding gua yang saat itu termakan rasa nyaman dan cinta sesaat. Mereka tahu, bahwa hal tersebut tidak baik untuk gua. Namun lagi-lagi, gua terlampau keras kepala hingga akhirnya tenggelam dalam lubang yang gua gali sendiri.
Hal yang akan selalu gua ingat mulai saat ini adalah, kita tidak akan berlebihan bagi seseorang yang tepat untuk kita. Ambisi dan cita-cita kita justru akan menambah semangat hidupnya, prinsip hidup kita akan memperkokoh pondasi hidupnya, pemikiran dan obrolan kita tidak akan dianggap terlalu tinggi, kerja keras kita tidak akan diragukan atau diremehkan, perkembangan diri kita tidak akan membuatnya takut dan minder, dan kehadiran diri kita tidak akan menjadi beban bagi mereka.
Jika hati terasa berat dan tidak nyaman, maka hal yang paling tepat dilakukan adalah menurunkan ego, mundur sejenak, dan kembalilah kepada Allah. Gua pun berkali-kali bertanya "Ya Allah apakah dia baik untukku, untuk agamaku, untuk keluargaku, dan untuk hidupku?," karena sesungguhnya manusia itu adalah makhluk yang rawan tersesat, clueless. Kita mungkin berpikir bahwa kita telah menemukan jawabannya, namun ternyata kita akan selalu membutuhkan bimbingan Allah dalam mengambil setiap keputusan hidup. Gua sangat bersyukur bisa menurunkan ego dan berusaha berpikir dengan kepala dingin. Dan.. di saat gua menempatkan Allah sebagai prioritas, jawabannya menjadi sangat jelas: bukan dia, dan jangan sampai dia.
Mengapa ini sangat penting? karena memilih sahabat atau pun memilih pasangan adalah hal yang sangat krusial dalam hidup. Mereka adalah aspek yang mendefinisikan seperti apa kehidupan yang ingin kita jalani baik sekarang mau pun nanti, mereka adalah gambaran dari prinsip dan nilai yang kita anut selama ini. Salah memilih orang, maka hidup bisa hancur lebur. Bayangkan, penjagaan diri yang selama ini kita lakukan. Perjuangan yang telah dilakukan dalam mengusahakan hidup, semua menjadi sia-sia karena termakan ego, pengambilan keputusan yang terburu-buru, tuntutan eksternal, tenggelam dalam kesenangan sesaat. Tetaplah objektif sampai akhir, lindungilah hidup kita yang sangat berarti itu, dengarkan nasihat dari orang-orang terdekat. Bukan hanya untuk diri kita, namun juga untuk orang yang telah membantu, percaya, dan menyayangi kita dengan sepenuh hati. Gua tidak ingin mengecewakan mereka untuk kedua kalinya.
Tidak apa, manusia itu akan selalu berproses selama hidupnya. Namun, mulai saat ini kita perlu membuat batas: tentang apa yang kita butuhkan, tentang apa yang bisa ditoleransi, tentang apa yang kita cari dari seseorang, tentang efek yang dihasilkan jika kita mengambil keputusan tertentu. Semakin dewasa, pertimbangannya memang semakin banyak. Namun di satu sisi, semakin dewasa kita juga semakin matang dalam berpikir dan menilai situasi. Kita tidak bisa mengambil keputusan hanya berdasarkan perasaan saja. Ibaratkan mengerjakan penelitian ilmiah, memasukkan pernyataan, "Menurut saya," jelas tidak akan valid dan tidak akan diakui. Memangnya siapa saya? siapalah kita ini? sungguh kalimat yang dipenuhi bias dan subjektivitas. Untuk siapa pun itu, tolong selalu libatkan Allah dalam setiap langkah hidup kita.
Kalau sekarang ditanya pasangan seperti apa yang dicari, maka gua akan menjawab, "Seseorang yang bisa gua banggakan di hadapan Allah." Terdengar sederhana, namun sebenarnya tidak sederhana sama sekali. Gua bukanlah orang yang mencari kesempurnaan, karena memang tidak ada. Kriteria dan standar pun juga ada. Tapi hal tersebut sifatnya juga jauh dari kesempurnaan. Gua menginginkan jodoh yang baik, benar. Tapi bukan berarti dia harus menjadi orang paling dari yang paling segalanya. Di dunia ini, akan selalu ada orang yang lebih menawan, lebih pintar, lebih alim, dan lebih lainnya. Dan di sisi lain, gua juga sudah cukup muak bertemu orang yang penuh dengan kepalsuan, berpura-pura menjadi sesuatu yang sebenarnya bukan dirinya. Tidak perlu berlagak menjadi si paling, karena kebaikan itu sesungguhnya memancar dari dalam diri. Lakukan saja yang terbaik, karena gua yakin masing-masing dari kita pun bisa menilai. Yang gua inginkan adalah seseorang yang dengan kesadaran penuh melakukan ibadah karena Allah. Seseorang yang beribadah bukan karena tuntutan atau paksaan siapa pun. Seberat apa pun cobaan dan ujian yang datang, dia akan tetap memilih Allah, tetap memilih jalan yang diridhoi Allah. Seseorang yang menjalani kehidupannya dengan baik, seseorang berhati tulus, seseorang yang memiliki visi dan misi yang jelas dalam hidup, seseorang yang tidak takut dengan impian dan cita-cita yang gua miliki, seseorang yang terus bertumbuh dan bisa diajak berkembang bersama, seseorang yang senantiasa muhasabah menjadi versi terbaik dari dirinya, seseorang yang bisa melihat betapa berharganya diri gua, seseorang yang tidak menyerah untuk memperjuangkan gua, dan seseorang yang bisa dengan percaya diri mengatakan, "Selama ini aku sudah menjalani hidup dengan baik. Aku akan memperjuangkanmu sekuat tenaga karena aku ingin melanjutkan hidup yang baik ini hingga akhirat bersamamu."
Tetaplah berprasangka baik kepada Allah