How I Discover Ghafir

0




    Kala itu merupakan siang yang tenang. Tidak ingat pasti hari apa, tapi dikarenakan hari itu aku bisa duduk di pelataran masjid saat siang maka bisa dipastikan hari itu adalah hari sabtu atau minggu. Tidak ada yang spesial secara spesifik, hanya aku yang saat itu berumur 14 tahun dan Al-Qur'an yang biasa dipakai untuk menghafal. Duduk santai, sambil melihat manusia berlalu-lalang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menghafal, karena setiap hari kami wajib menyetorkan hafalan beberapa baris hingga halaman dari Al-Qur'an. Bagai nafas yang setiap hari berhembus, menghafal adalah kegiatan harian terjadwal yang harus dilakukan.


    Bosan, rasanya bosan sekali hingga aku perlu pergi ke pelataran masjid untuk mencari udara segar. Namun, hari itu ada yang berbeda, sesuatu yang membuat aku mengingat hari itu: untuk pertama kalinya aku memberanikan diri untuk belajar menggunakan nada saat tilawah. Jika penyanyi bisa melakukan improvisasi ketika bernyanyi, maka dalam menghafal juga ada variasi nada tilawah yang bisa digunakan. Bedanya, mengaji memiliki aturan yang lebih banyak dan ketat. Wajar saja menurutku, karena ini bukanlah sebuah ciptaan manusia dan kita diwajibkan untuk memuliakannya. Bermodalkan tilawah yang sering aku dengarkan dari masjid saat sore, aku pun mulai belajar membaca Al-Qur'an menggunakan beberapa nada tilawah. 


    Apakah saat itu aku langsung bisa? tentu tidak. Mengubah kebiasaan membaca Al-Qur'an itu susah, terlebih lagi kita tidak boleh melanggar aturan-aturan tajwid yang terdapat di dalamnya. Aku sering meminta temanku untuk menyimak bacaanku, bahkan aku suka berkonsultasi dengan kakak kelas yang memang berpengalaman dalam mengikuti perlombaan tilawah Al-Qur'an. Hari demi hari bergulir, dan aku terus konsisten mempelajari hal yang dapat memperbagus bacaanku. Sebelum belajar nada, aku juga mendalami kembali prinsip-prinsip dasar membaca Al-Qur'an karena sejatinya, sebelum memperbagus bacaan Al-Qurán hendaknya kita semua menyempurnakan terlebih dahulu pelafalan serta hukum tajwid yang berlaku. Surah yang menjadi percobaanku adalah surah Ghafir atau yang dulu lebih dikenal sebagai surah Al-Mu'min. Tidak ada alasan khusus karena saat itu aku memang harus menyetorkan surah tersebut, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui pikirku. Semakin hari hasilnya semakin terlihat, dan aku terkadang duduk di pelataran masjid lagi untuk melatihnya. 


    Apa yang memotivasiku sampai aku berusaha keras seperti itu? sederhana saja, itu semua adalah ambisi seorang remaja yang baru merasakan kekalahan. Sebelum kejadian aku duduk di pelataran masjid, aku sempat mengikuti sebuah lomba Al-Qur'an sebagai perwakilan sekolah. Merasa percaya diri dengan kemampuanku saat itu, aku terlena dan tidak mengusahakannya dengan baik. Di sana, aku betemu dengan banyak sekali anak berbakat. Tidak hanya hafal, namun bacaan mereka sangat indah. Aku tidak menaruh perasaan buruk, justru aku terkesima, kagum dengan kemampuan mereka. Saat itu aku bertekad: aku ingin jadi sekeren mereka. Hari ditutup dengan kekalahanku, namun aku mendapat banyak sekali pelajaran untuk mengembangkan kemampuanku. Itulah momen turning point bagiku, hingga aku bisa menjadi seperti sekarang. 


    10 tahun telah berlalu sejak kejadian tersebut, dan ternyata hari itu menjadi hari yang cukup aku rindukan dalam hidup. Hari yang dulu terasa membosankan, ternyata malah menjadi hari yang paling aku ingat. Tidak banyak kenangan yang tersisa karena memang tidak diperbolehkan dokumentasi selama di asrama, aku pun bahkan sengaja menulis ini agar senantiasa teringat apa yang menjadi roots dan core diriku. Di hari yang tidak disangka, aku terkadang suka memimpikan hal tersebut: Membaca Al-Qur'an di pelataran masjid saat siang. Ada perasaan hangat seperti ingin mengatakan, "Inilah aku, baik dulu, sekarang, mau pun nanti."


    Hal tersebut juga aku rasakan saat membaca surah Ghafir. Ketika sedih, surah Ghafir adalah surah pertama yang aku ingat. Saat memulai surah Ghafir, hatiku langsung mengarah menuju diriku berumur 14 tahun yang sederhana dan hangat. Seperti ada yang sedang memelukku, aku merasa semua akan baik-baik saja selama aku bisa membaca Surah Ghafir. Membaca surah tersebut tidak hanya sekadar membaca, namun juga terlintas banyak kenangan ketika menghafalnya. Hari di mana aku kekurangan tidur karena belajar, malam ketika aku menatap langit sambil berandai-andai akan jadi apa aku di masa depan nanti, masa ketika ada banyak sekali hal yang tidak aku mengerti.


    Ternyata aku sudah sejauh ini. Hal yang menurutku mustahil di masa lampau ternyata banyak yang sudah terwujud. Sering kali aku merasa gagal dalam hidup karena tidak mampu memenuhi berbagai ekspetasi manusia, namun jika mengingat diriku di masa lalu aku tersadar: ternyata aku sudah berkembang dengan baik. Memang, aku belum benar-benar berada di kehidupan yang aku inginkan. Tapi, ingatlah firman Allah yang menyebutkan bahwa jika kita bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat tersebut. Untuk setiap hari yang aku jalani, untuk setiap cita-cita yang aku usahakan, untuk setiap doa dan harapan yang dilangitkan, semua itu dibungkus dengan ketaatan penuh rasa syukur. 


    Sekarang aku akan mencoba kembali sedikit ke surah Ghafir. Surah yang tidak terlalu banyak disebut, surah underrated. Mungkin saja jika aku tidak memiliki kenangan tersebut bisa jadi aku juga tidak akan terlalu memperhatikan surah Ghafir. Secara garis besar, surah ini berisi cerita mengenai kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad yang kerap mendustakan ayat Allah. Surah ini juga menggambarkan bahwa penyesalan akan selalu datang di akhir. Ketika semuanya sudah terlambat, barulah mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah lalai dan sombong. Seruan ayat di surah ini merupakan favoritku, terutama mulai dari bagian berikut:


“Wahai kaumku, ikutilah aku! Aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar." (Ghafir:38)


Sebuah seruan dari orang beriman untuk kembali ke jalan yang diridhoi Allah. Ayat-ayat berikutnya juga menjelaskan detail dari ajakan tersebut. Sekilas, ayat ini terasa biasa saja sampai kemudian diikuti ayat:


"Wahai kaumku, bagaimanakah ini? Aku menyerumu kepada keselamatan, sedangkan kamu menyeruku kepada neraka." (Ghafir:41)


"Bagaimanakah ini?," sebuah ungkapan kekecewaan, kebingungan, dan rasa frustrasi yang tergabung menjadi satu. Bagaimana? aku sudah berusaha sebaik mungkin mengajak mereka, menjelaskan bahwa dunia ini hanyalah kesenangan sementara, namun kalian malah menyeruku untuk kufur kepada Allah. Rasa sesak timbul karena seruan kebaikan tersebut tidak dihiraukan sama sekali. Bahkan di ayat sebelumnya, tepatnya pada ayat 36, diceritakan bahwa Fir'aun meminta kepada anak buahnya yakni Haman untuk membuat sebuah bangunan tinggi yang menembus langit.


“Hai Haman, buatkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi agar aku sampai ke pintu-pintu,

(yaitu) pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhannya Musa."


Pada titik ini, mereka bukan hanya menghiraukan seruan, namun mereka telah jatuh ke dalam kesombongan dan keserakahan yang amat besar. Fir'aun saat itu dengan lantangnya menantang Musa mengenai Tuhan yang Musa dakwahkan. 


Bangunan tinggi menembus langit, katanya.


Jika Fir'aun masih hidup hinga sekarang, mungkin dia akan sangat malu dengan perkataannya sendiri. Semua yang ia miliki, semua yang ia banggakan, ternyata tidak memiliki nilai apa pun di hadapan Allah. Orang beriman itu juga akhinya berserah diri saat dia mengatakan:


"Kelak kamu akan mengingat apa yang kukatakan kepadamu."

"Aku menyerahkan urusanku kepada Allah." 

"Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya." (Ghafir:44)


    Benar, tugasnya sebagai manusia sudah selesai untuk saling mengingatkan karena kelak, mereka semua akan diminta pertanggung jawaban atas semua kesombongan mereka selama di dunia. Mengatakan, "Aku menyerahkan urusanku kepada Allah," bukanlah sebuah ungkapan putus asa. Kenyataannya, di dunia ini ada banyak sekali hal yang berjalan di luar kendali dan kuasa kita. Sekeras apa pun usaha yang dilakukan, memang ada hal yang tidak serta merta berubah hanya karena kita menginginkannya. Tidak semua hal berjalan sesuai standar kita, dan kita harus belajar menerima hal tersebut. Hidayah merupakan hal yang sifatnya sangat personal. Jika hatinya tidak tergerak, terlebih lagi tertutup kesombongan, maka hidayah tersebut juga tidak akan datang kepadanya. Urusan keimanan sudah seharusnya merupakan tanggung jawab antara dia sebagai hamba dengan Tuhannya, sehingga jika kita menyerahkan sisa urusan tersebut kepada Allah maka hal tersebut adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Manusia hanya bisa berusaha, dan sesuatu yang berlebihan itu juga tidak baik. 


    Ayat-ayat selanjutnya juga tidak kalah indah, namun mari kita simpan untuk segmen berikutnya. Bagiku, Ghafir bukan hanya surah yang menenangkan, tetapi juga surah yang senantiasa mengingatkanku atas segala perjuangan yang telah dilakukan, atas segala waktu yang pernah aku curahkan, atas segala usaha yang diupayakan untuk menjadi lebih baik lagi. Aku sudah sejauh ini, dan aku tidak akan berhenti sampai Tuhanku sendirilah yang menjemputku. 

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)