Prolog
Sebab Awal Kefuturan
4 Februari 2020
I thought 2019 will be an extraordinary year. But wait...
Sejujurnya, 2019 adalah tahun yang luar biasa. Tahun itu aku lulus sekolah dengan nilai sangat memuaskan, lulus seleksi SBMPTN, dan akhirnya sekarang melanjutkan pendidikan ke sebuah perguruan tinggi negeri. Aku terlihat baik baik saja, tapi seiring berjalannya kuliah aku mulai merasa janggal, hampa, dan tidak bersemangat.
Aku pun berusaha mencari tahu, mengapa?
Oh, mungkin inilah yang sering disebutkan orang-orang, kondisi futur. Aku membaca artikel di internet bahwa futur adalah rasa malas, enggan untuk melakukan suatu kebaikan yang mana sebelumnya bersemangat untuk melakukannya. Ya, pengertian itu sangat cocok dengan keadaanku sekarang, dalam hal ini futur melakukan ibadah dan kebaikan.
Aku memahami bahwa perbedaan lingkungan yang mencolok sangat memengaruhi psikis seseorang. Sebagai seorang santri, lingkunganku dahulu terbilang agamis. Orang-orang di sekitarku selalu mengingatkan untuk berbuat kebaikan, tidak meninggalkan sholat, dan tetap muroja'ah, memegang teguh Al-Qur'an. Aku ingat sekali bagaimana dulu dibangunkan untuk sholat tahajud, diajak untuk sholat dhuha, hingga mengulang hafalan bersama-sama.
Aku sadar bahwa aku juga bukan orang yang taat apalagi alim, tetapi ternyata lingkungan sangat berpengaruh. Sekarang tidak ada lagi yang mengingatkan hal-hal seperti itu. Aku sangat bersyukur masih mempunyai orang tua yang masih mau mengingatkanku. Namun, itu kan di rumah. Bagaimana dengan di lingkungan kos? jangan harap, mau tidak mau harus bertahan & tetap kuat di atas kaki sendiri.
Tidak sampai di situ, kefuturan ternyata juga berasal dari diri sendiri. Belakangan ini aku merasa bahwa aku telah menomor-sekian-kan ibadah, dan contohnya sudah banyak terjadi di kehidupan sehari-hari. Ketika sudah masuk waktu adzan aku akan bergumam dalam hati "Nanti saja." Saat belum mengaji pun berucap, "Besok deh." Tidak mengerjakan amal-amal sunnah, "Oh tidak mengapa ini kan sunnah, tidak wajib." Perlahan tapi pasti, aku mulai menyepelekan ibadah, dan akumulasi perkataan seperti ini lah yang akhirnya menjerumuskanku dalam futur berkepanjangan. Guru-guru sebenarnya telah mengingatkan bahwa iman seseorang bisa naik dan turun. Namun responku hanya sekadar oh dan ya sudah, berlalu. Aku tidak menyangka bahwa aku benar-benar mengalaminya sekarang, ternyata ilmuku selama ini sangat lemah pondasinya.
Aku rasa pertengahan bulan Oktober sampai November 2020 adalah masa-masa paling tidak karuan, fase menangisi diri sendiri. Mengapa sekarang seperti ini, dan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sudah ku tahu jawabannya. Ya, aku telah jauh dari Allah, menjauh dan semakin menjauh. Boro-boro sholat dhuha, mengerjakan yang wajib pun jadi malas. Muroja'ah? benar-benar seadanya. Ya Allah, aku benar-benar merasa kehilangan diriku.